Hati-hati Jika Bicara
Hati-hati jika bicara, terutama menggunakan kata-kata sandi atau bahasa asing yang ditujukan pada orang lain karena boleh jadi orang tersebut mengerti artinya.
Sebagaimana yang pernah saya alami 7 tahun kebelakang. Ketika itu pulang dari Bandung, tepatnya dari PT ASABRI di jalan Citarum untuk mengurusi ‘balik nama’ pensiun bapak saya (alm) kepada ibu. Saya pulang ke Tasikmalaya naik bis dan duduk di kursi paling belakang, di sana sudah ada penumpang termasuk dua orang ibu muda, dan saya pun duduk di sebelahnya.
Tak lama bis pun melaju dengan tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat alias sedang-sedang saja. Sehingga membuat saya mengantuk dan tertidur. Disaat perjalanan sudah separuhnya ditempuh saya terbangun, dan disaat itu pula terdengar kedua ibu muda yang duduk disebelah sedang mengobrol.
Namun yang dibicarakan oleh keduanya membuat saya terkejut, karena bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda yang disandikan. Ibu yang pas duduk di sebelah saya bicara pelan pada temannya ; uka lalaning una anung di ugar giningeun urang unang, uga sinang upat coneng… Lalu temannya menjawab ; heueuh, utak manangna uat duning unah maneng uka dineung umpan sineng di urang unang…..
Mendengar obrolan mereka itu, saya hanya tersenyum dalam hati dan kembali tidur. Selang beberapa saat saya terbangun lagi, karena dikejutkan oleh teriakan sang kondektur, Pagendingaan….pagendingaan…siap-siap!
Pagendingan adalah sebuah pertigaan jalan tempat saya harus turun dan naik angkutan pedesaan menuju Desa Cisayong di kaki Gunung Galunggung. Tak sampai sepuluh menit bis pun berhenti di pertigaan Pagendingan dan saya pun bergegas untuk turun. Namun sebelum turun saya sempat berpamitan pada kedua ibu muda tersebut (menggunakan bahasa sunda tentunya), mari bu… maaf saya bukan copet…
Mengapa saya berkata seperti itu? Itu adalah jawaban untuk omongan mereka berdua tadi. Kedua ibu muda itu tidak tahu bahwa selain mereka, ada dan bahkan banyak orang yang mengerti kata-kata sandi tersebut, termasuk saya.
Oleh karena itu, hati-hati jika bicara karena mulutmu adalah harimaumu.
Tak lama bis pun melaju dengan tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat alias sedang-sedang saja. Sehingga membuat saya mengantuk dan tertidur. Disaat perjalanan sudah separuhnya ditempuh saya terbangun, dan disaat itu pula terdengar kedua ibu muda yang duduk disebelah sedang mengobrol.
Namun yang dibicarakan oleh keduanya membuat saya terkejut, karena bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda yang disandikan. Ibu yang pas duduk di sebelah saya bicara pelan pada temannya ; uka lalaning una anung di ugar giningeun urang unang, uga sinang upat coneng… Lalu temannya menjawab ; heueuh, utak manangna uat duning unah maneng uka dineung umpan sineng di urang unang…..
Mendengar obrolan mereka itu, saya hanya tersenyum dalam hati dan kembali tidur. Selang beberapa saat saya terbangun lagi, karena dikejutkan oleh teriakan sang kondektur, Pagendingaan….pagendingaan…siap-siap!
Pagendingan adalah sebuah pertigaan jalan tempat saya harus turun dan naik angkutan pedesaan menuju Desa Cisayong di kaki Gunung Galunggung. Tak sampai sepuluh menit bis pun berhenti di pertigaan Pagendingan dan saya pun bergegas untuk turun. Namun sebelum turun saya sempat berpamitan pada kedua ibu muda tersebut (menggunakan bahasa sunda tentunya), mari bu… maaf saya bukan copet…
Mengapa saya berkata seperti itu? Itu adalah jawaban untuk omongan mereka berdua tadi. Kedua ibu muda itu tidak tahu bahwa selain mereka, ada dan bahkan banyak orang yang mengerti kata-kata sandi tersebut, termasuk saya.
Oleh karena itu, hati-hati jika bicara karena mulutmu adalah harimaumu.